Senin, 30 November 2015

Finally It's Spoken :)

Sebagai seorang cewek yang masih single alias belum "merit", saya punya beberapa pengalaman tentang petualangan cinta. Ada pengalaman pacaran, pengalaman friendzone, pengalaman hubungan tanpa status dan lain-lain. Buat saya pengalaman-pengalaman tersebut adalah petualangan, dan dalam melaluinya ga jarang saya mengalami rintangan dan pahitnya kegagalan. Padahal saya bukan tipe cewek yang memulai duluan. Maksudnya, dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, saya termasuk tipe "old fashion" yang selalu menganggap cowok lah yang harus melakukan first move. Anehnya nih, fenomena yang sering saya alami sama mereka adalah mereka yang mulai, dan mereka juga yang mengakhiri. Nyebelin ga tuh?

Satu contoh yang sampai sekarang masih membekas dan belum bisa saya lupain adalah pengalaman di friendzone-in sama cowok. Sebut aja K. Suatu hari si K minta dikenalin sama saya melalui temennya. Singkat cerita hubungan kita berlanjut dari telponan/smsan ke yang mulai ngedate tiap ada waktu luang. Biasanya acara ngedate diisi dengan nonton atau sekedar dinner. Sebagai orang yang umurnya udah dewasa, pasti bakal mikir tentang kelanjutan hubungan yang seperti itu akan mengarah kemana. Buat saya pribadi, saya mikirnya dia cuma ngambil waktu beberapa lama untuk pdkt sama saya dan pasti ujung-ujungnya bakal nembak atau membicarakan tentang komitmen. 

Satu bulan pdkt.. belum ada tanda-tanda nembak. Dua bulan.. juga belum. Sampai bulan ketiga, tiba-tiba terbersit aja kita berdua bikin rencana liburan bareng adik-adik ke Lombok. Nah dari situ saya pikir dia bakal manfaatin momen liburan itu untuk nyatain sesuatu ke saya. Pada saat mempersiapkan liburan, saya ngerasa excited terus karena bakal ngira dapet kejutan spesial disana. Tapi sampai akhirnya pada saat kita udah berada disana, masih belum ada keliatan tanda-tanda dia bakal nembak. Dan justru malah pas kita lagi berada disana, saya ngerasa jadi lebih jauh sama dia. Liburan yang saya bayangkan akan jadi asik luar biasa, ternyata malah jadi bencana buat saya. Sama sekali ga mengasyikkan malah bawaannya saya pengen pulang terus. Pada saat itu, saya bener-bener kecewa banget dan masih ga ngerti maunya dia apa.

Begitu balik dari liburan, hubungan saya sama K jelas jadi ga bagus. Saya bener-bener bete sama dia. Disaat dia coba ngajak saya keluar, saya selalu nolak. Terus begitu sampai akhirnya dia menghilang tanpa saya pernah punya kesempatan untuk nanya tentang maksudnya dia selama ini apa. Bener-bener berapa bulan yang sia-sia saya jalanin sama dia. Sampai hari ini, saya ga pernah tau kabar dari dia lagi. Dan semua berakhir begitu aja tanpa ada bisa dibicarakan tentang apa sih sebenernya tujuan dia waktu itu deketin saya. Dan pada saat itu saya cuma menganggap kalo saya officially udah jadi korban friendzone :(

Setelah kasus K, ada beberapa kasus lagi yang serupa yang kejadian sama saya. Intinya, saya dideketin, tapi ga dikasih kepastian tentang apa tujuan dari pendekatan itu. Kalo saya dideketin cowok di usia saya yang masih 17 an, saya sih ga perlu repot buat cari tau maksud dan tujuan pendekatan mereka. Berhubung usia saya udah memasuki usia matang untuk mencari hubungan yang serius, saya jelas harus lebih selektif dong. Saya ga bisa lagi yang namanya sembarangan jalan sama cowok yang ga punya tujuan serius sama saya. Dan saya yakin diluar sana cewek-cewek smart yang seumuran sama saya pasti akan berpikir yang sama.

Yang saya sayangkan, seringkali hubungan ga jelas tersebut berakhir tanpa dibicarakan. Unspoken. Berakhir begitu aja meninggalkan rasa penasaran. Dan ga kasih saya kesempatan untuk protes ke mereka dan kasih tau ke mereka kalau apa yang mereka lakukan itu ga bener atau cari tau tentang apa maksud mereka yang sebenarnya.  Cukup bikin nyesek juga.. tapi mau gimana lagi, kalau memang hanya seperti itu keadaan yang harus jalani. Paling saya cuma bisa ambil pelajaran buat ke depannya supaya ga akan buang-buang waktu lebih lama sama laki-laki yang mau deket tapi ga punya tujuan yang serius. Mengenai keseriusan mereka, saya bilang mereka ga serius ya masih asumsi saya pribadi aja sih. Tapi karena mereka juga ga pernah bilang tentang apa yang mereka rasain, jangan salahin cewek kalau kita jadi ngejudge demikian. 

Tapi akhirnya, saya sekarang bisa merasa puas. Karena udah bisa mengutarakan semua uneg-uneg saya sama cowok yang terakhir. Sebut aja A. Bedanya, A ga friendzone-in saya. Kita sempet jadian, dia juga maunya serius saya pun juga mau yang sama. Intinya kali ini, saya ketemu sama cowok dewasa yang ga tertarik dengan hubungan yang main-main. Sayangnya hubungan tersebut berakhir dengan kegagalan. Dan selama ngejalanin hubungan itu, saya bener-bener ga hepi dengan sikapnya dia.

Saya sama A ngejalanin hubungan jarak jauh. Semua baik-baik aja dan menyenangkan sampai pada saat dia cerita ke orangtuanya tentang saya. Respon keluarganya kurang bagus, karena lokasi saya yang jauh dari dia. Sepertinya, keluarganya mau dia berhubungan sama orang yang satu kota aja sama dia. Dan disitulah cobaan buat saya dimulai. Dia mulai berubah sama saya. Mulai jarang kasih kabar, komunikasi kita jadi jarang, pokoknya berubah drastis. Sampai pada akhirnya saya mempertanyakan tentang komitmen kita. Buat saya, kalau memang itu harus berakhir, saya ga masalah yang penting saya dapat kepastian dan bisa segera move on.

Tapi sayangnya, dari dia ga terlalu ngasih kepastian yang bener-bener jelas. Dia bilang, dia tetap mau ngejalanin hubungan sama saya, tapi kalau saya ketemu sama cowok yang lebih baik dari dia, dia ga masalah kalo saya ninggalin dia  dan lanjut dengan hubungan yang baru. Dari situ saya jadi ngerasa dapat pencerahan kalau saya ga bisa serius dengan orang yang punya prinsip seperti itu. Dan akhirnya saya mengakhiri hubungan dengan dia karena buat saya dia ga tegas dan ga memperjuangkan apa yang sudah dia mulai hanya karena keluarganya yang kurang setuju.

Waktu demi waktu berlalu. Saya cuma berharap rasa sakit hati saya ini bisa sembuh seiring waktu. Apa yang saya rasakan, pendapat saya tentang si A lagi -lagi unspoken. Tidak ada kesempatan untuk menyampaikan ke dia seperti yang sebelum-sebelumnya. Saya berusaha berdamai dengan situasi "unspoken" itu dan pasrah kalau memang saya selamanya ga punya kesempatan  untuk menyampaikan semua yang saya rasain ke orang yang nyakitin saya.

Tanpa terasa, sebulan setelah kontak terakhir saya dengan si A, dia menghubungi saya lagi untuk menanyakan kabar. Saya pun menanggapinya dengan sangat "numb". Karena memang sudah ga ada interest lagi dengan dia dan udah benar-benar move on. Tapi tanpa diduga, dia memulai sebuah pembicaraan yang sempat unspoken tentang hubungan yang pernah kita jalanin. Dia jelasin tentang semuanya, tentang kenapa dia berubah dan gimana perasaan dia sama saya. Disitulah saya mulai ngerasa ada kesempatan buat saya ngeluapin semua uneg-uneg saya. 

Saya bener-bener bersyukur. Semuanya akhirnya bisa tersampaikan ke dia tanpa kurang satupun. Tentang bagaimana sakit hatinya saya karena sikapnya yang berubah, tentang penilaian saya buat dia, tentang perasaan saya sama dia... Hebatnya lagi, dia menanggapi semuanya dengan respon yang ga terduga. Dia minta maaf, menyesal dan dia minta kesempatan kedua supaya bisa memulai lagi dengan saya. Dan dia juga bilang dia ga bermaksud untuk nyakitin saya sama sekali karena waktu itu dia juga bingung harus bersikap apa dengan keadaan yang dia hadapi. Pokoknya semua sakit hati saya waktu itu jadi dibalas dengan rasa lega. Lega karena udah bisa bilang semua yang selama ini saya simpan sendiri dan lega karena dia udah minta maaf properly ke saya bahkan minta balikan.

Tapi semuanya udah terlambat. Tepat di hari saya putus sama dia waktu itu, saya langsung mendapatkan penggantinya. Mungkin itu cara Tuhan menghibur saya. Dan otomatis ga ada lagi kesempatan kedua buat si A. Meskipun dia bilang dia ga akan menjalin hubungan dengan siapapun sampai saya nerima dia. Itu sih terserah dia dan mungkin dia bisa ngambil pelajaran dari hubungan kita yang udah berakhir begitu aja. Intinya, saya ngerasa alam semesta akhirnya berpihak sama saya. Selama ini dari hubungan saya yang gagal dan berakhir meninggalkan banyak hal yang "unspoken" akhirnya ada masanya untuk jadi "spoken". Saya pun bisa tersenyum lega dan berkata dalam hati "finally, it's spoken.."

:)




Senin, 23 November 2015

LDR Warrior !

Setelah sekian lama tidak memutuskan untuk berkomitmen dengan siapapun (sekitar 4 tahun lamanya), akhirnya saya memiliki hubungan yang cukup serius. Sayangnya, saya dihadapkan dengan hubungan "bergaya" LDR alias hubungan jarak jauh. Uuughhh , sangat menyebalkan.
Percayalah, yang namanya LDR itu sama sekali tidak mudah. Dulu waktu masih kuliah, saya pernah LDRan tapi masih memungkinkan untuk ketemuan seminggu sekali atau dua minggu sekali. Tapi sekarang? Sebulan sekali aja belum tentu.
Pernah saya sharing dengan beberapa teman yang saya anggap sebagai sumber untuk tulisan ini, yang menjalani hubungan jarak jauh dan akhirnya menikah. Kedua sumber saya tersebut adalah laki-laki. Karena kalau menyangkut masalah hubungan jarak jauh, saya memang tidak tertarik untuk sharing dengan cewek yang cenderung setia. Hubungan jarak jauh identik dengan ketidaksetiaan, dan ketidaksetiaan erat kaitannya dengan laki-laki. Sama sekali bukan bermaksud seksis, akan tetapi dari sejumlah pengalaman yang ada, angka statistik menunjukkan kalau laki-laki memang lebih banyak yang tidak setia dibanding dengan perempuan. 

Singkat cerita, saya menggali lebih dalam pengalaman LDR dari teman saya yang pertama, sebut aja S. Jadi si S ini punya pacar yang kerja di Jakarta, sementara dia sendiri kerja di Balikpapan. Usia pacarannya saat itu sudah memasuki tahun ke-6. Saya lupa berapa lama mereka menjalani LDR dalam periode enam tahun tersebut. Tapi yang pasti, si S ini sempat menyebutkan kalau dalam setahun mereka hanya bertemu dua kali. Dua kali ! Menurut saya itu cukup gila sekaligus hebat. Dengan gaya pacaran yang ketemunya jarang seperti itu bisa membawa hubungan mereka pada pernikahan. 

Kemudian teman saya yang satunya punya cerita yang agak berbeda. Sebut aja A. Usia pacaran sebelum mereka menikah terbilang singkat, hanya enam bulan. Dan dari periode tersebut mereka hanya bertemu dua kali. Kalaupun ada pertemuan diluar yang dua kali tersebut adalah pertemuan yang sudah resmi dengan keluarga masing-masing untuk merencanakan acara lamaran dan pernikahan. Saya juga cukup terkesan dengan cerita LDR yang satu ini.

Anyway, dari cerita mereka tersebut saya jadi menganggap kalau hubungan jarak jauh ternyata juga membawa banyak keberhasilan sampai ke pernikahan. Dan pada saat itu saya menganggap LDR tidak sulit untuk dijalani selama kedua pihak saling setia dan saling percaya. Pada saat saya mempunyai pemikiran seperti itu, saya masih jomblo. Tapi sekarang disaat saya yang menjalaninya sendiri, ternyata LDR tidak sesederhana itu. Setiap hari rasanya saya harus mempersiapkan hati kalau pacar saya tidak bisa kasih kabar. Dari situ saja sudah bisa membuat mood saya berubah. Bisa bikin jadi tidak semangat, tidak bergairah dalam melakukan apapun dan bawaannya cuma bisa gelisah.

Dua modal utama dalam menjalani LDR adalah seperti yang sudah disebutkan sebelumnya tadi, harus setia dan percaya. Pacar saya berulang kali meyakinkan saya untuk selalu percaya dan tidak usah khawatir dengan kesetiaan dia. Saya pun berusaha untuk percaya tapi setiap hari selalu aja ada ketakutan kalau-kalau dia berubah. Misalnya, apabila dia yang berada jauh dari saya ketemu dengan sosok yang menarik yang ada didekatnya. Prinsip "anything could happen" yang terus ada dalam pikiran saya menjadi bumerang buat diri saya sendiri. Segala sesuatu bisa terjadi, baik itu sesuatu yang bagus ataupun sesuatu yang buruk. Tapi biasanya sih saya mengatasinya dengan berusaha untuk positive thinking aja, supaya beban pikiran tidak terlalu berat.

Kemudian, meskipun pasangan kita bisa dipercaya akan tetapi terkadang keadaan bisa mengarah ke sesuatu yang bikin kita paranoid. Contohnya aja teman saya si S. Dia sering lho ngajak saya dinner dan nonton berdua. Memang sih ga ada apa-apa di antara kita, saya menganggap dia sebagai sosok kakak karena dia dewasa dan dia menganggap saya entah apa, mungkin teman atau "adek-adekan". Tapi tetap saja, kalau saya berada di posisi pacarnya dan mengetahui tentang ini, kayanya cukup bisa bikin kelimpungan juga. Tentu aja disaat kita lagi dinner atau nonton berdua, si S ga bilang ke pacarnya karena menurut dia ga berguna, cuma bikin pacarnya paranoid, sementara si S merasa dia ga lagi selingkuh atau macem-macem. Tapi saya membayangkan kalau pacar saya yang ngajak dinner atau nonton cewe lain tanpa ada maksud-maksud apa-apa, tetap aja bisa bikin saya jealous luar biasa.

Kemudian teman saya si A juga punya pengalaman yang hampir serupa. Malah lebih parah sih kalau saya bilang. Jadi selama dia LDRan, dia pernah pdkt / flirting dengan teman satu kantor. Bedanya, sepengetahuan saya mereka ga pernah jalan bareng. Flirting-flirtingnya ya memang cuma di kantor, tapi tetap aja hal tersebut bakalan jadi masalah besar kalau ketauan sama pacarnya. Mungkin memang si A orangnya tetap setia dengan pacar jarak jauhnya tapi balik lagi dengan prinsip saya, "anything could happen". Meskipun kedua temen saya itu endingnya menikah dengan pacarnya masing-masing, tapi apa yang mereka sudah lakukan cukup beresiko untuk bikin LDR jadi berantakan dan berakhir begitu saja. 

Intinya, setelah saya menjalani LDR saya akan bilang kalau LDR itu ga mudah. Jadi setiap ada pasangan yang menikah, dan mereka adalah produk hasil dari LDR saya yang akan mengacungkan jempol paling tinggi dan bertepuk tangan yang paling kencang sebagai tanda penghormatan buat mereka. Karena sudah terbukti kalau mereka adalah pasangan yang setia dan memegang teguh komitmen yang sudah dibuat. Tidak semua orang bisa seperti itu, bukan? Kalau saya menilai diri saya sendiri, termasuk tipe yang setia tapi kurang "nyantai" karena saya selalu paranoid dengan pasangan saya. Mungkin karena banyak lihat pengalaman orang , termasuk pengalaman teman saya si S dan si A tadi ya. Tapi saya cuma bisa melakukan yang terbaik dan menyerahkan semuanya ke yang Maha Kuasa. Sekuat apapun kita berusaha untuk menjaga pasangan kita, kalau dia bukan ditakdirkan untuk kita, pada akhirnya akan terpisah juga. Tapi apabila dia memang sudah tertulis akan menjadi milik kita, sejauh apapun jarak memisahkan tetap akan dipersatukan juga. 

So.. Tetap semangat, ya para pejuang LDR :)