Minggu, 06 Desember 2015

Beauty is pain .. And pricy (aesthetic clinic adventure) Part 2

Kalau sudah ada yang baca postingan saya sebelumnya, pasti tahu dengan curhatan saya tentang permasalahan kulit wajah dan "petualangan" saya ke beberapa klinik perawatan wajah.
Yep, sekarang saya mau update perkembangannya seperti apa. Seperti yang sudah ada di tulisan sebelumnya saya janji akan memberi tahu tentang hasil dari perawatan wajah di klinik yang terakhir saya kunjungi, Erha Clinic. Kesimpulannya, saya luar biasa sangat amat kecewa. Tapi berikut saya sedikit beri tahu detailnya.

Dua minggu pertama , setelah rutin menggunakan sabun muka dan krimnya, saya merasa ada sedikit perbaikan di wajah saya. Terlihat sedikit lebih cerah dan segar. Tapi selanjutnya, berubah seperti "nightmare", wajah saya malah jadi jerawatan, merata diseluruh muka ! Yang biasanya saya tidak pernah ada jerawat di dahi, jadi muncul banyak jerawat di area itu. Selain itu juga kulit saya jadi sangat kering dan kusam. Pokoknya jadi kondisi kulit berubah jadi sangat kacau dan berantakan. Saya panik dan langsung datang untuk konsul ke dokter yang sudah memberikan saya krim "laknat" tersebut. Nama dokternya adalah dr. Regina. Setelah mendengarkan keluhan saya sebentar (kebetulan dokter yang satu ini kurang komunikatif sehingga tidak nyaman untuk diajak diskusi), dokternya memberikan saya resep yang isinya krim baru. Saya tidak punya pilihan lain selain percaya dengan obat yang sudah diresepkan dan berharap obat yang baru bisa memberikan perubahan yang lebih baik. 

Singkat cerita, saya pun mencoba krim yang sudah diganti selama dua minggu dan hasilnya kulit wajah tetap tidak ada perbaikan. Malah jadi lebih kering dan sama sekali tidak memungkinkan saya untuk melanjutkan pemakaian krim karena sangat merusak kulit. Akhirnya saya datang lagi ke klinik Erha untuk konsul dengan dokter yang lain, berharap ada solusi dan sedikit tanggung jawab karena sudah membuang-buang waktu, biaya dan energi saya. Tapi yang lebih penting, sudah membuat kulit wajah saya menjadi rusak. Akhirnya, jadilah saya ganti dokter, menemui dr. Nuriyah. Dari penampilannya yang berhijab dan sedikit berumur, saya pikir dokter ini bisa lebih bijak dan sabar menanggapi keluhan saya, tapi ternyata malah sebaliknya. Mungkin karena saya yang terlalu to the point bilang "kayanya krim Erha ga cocok dengan kulit saya, dok".
Dokternya pun menanggapi dengan sedikit emosi dan menyalahkan hormon dan tingkat stres pada diri saya. 

Kalau masalah hormon dan tingkat stres, manusia mana sih yang tidak punya? Semua punya hormon yang kadang tidak stabil, dan semua stres. Kalau tidak stres , bukan manusia namanya. Pertanyaannya, dari dulu saya juga punya hormon dan stres tapi tidak sampai menimbulkan jerawat yang tumbuh dengan agresif. Yang jelas, setelah saya pakai krim dari Erha, kulit wajah saya langsung dibuat berantakan. Dan kalau ada yang harus emosi, seharusnya pasien yang emosi bukan dokternya. Karena pasien lah yang sudah mengeluarkan biaya, meluangkan waktu dan menyediakan energi untuk menjalani perawatan yang ada.

Singkatnya, oleh dokter tersebut, saya dikasih resep krim yang baru. Dan dia bilang "kita lihat lagi perkembangannya satu bulan ke depan apakah kondisi wajah masih tetap sama ". Rasanya saat itu saya ingin merobek resepnya di depan si dokter. Karena saya tidak akan membiarkan eksperimen krimnya berjalan satu bulan lagi, sementara krim nya sudah dipastikan tidak cocok dengan kulit saya. Akhirnya, dengan lantang saya menyatakan bahwa hubungan saya dan Erha sudah berakhir. 

Karena saya sudah agak putus asa, akhirnya saya memutuskan untuk kembali saja ke Surabaya Skin Centre (SSC) yang pernah saya percaya. Kekurangan dari klinik ini buat saya hanya satu, jarak. Klinik perawatan ini tidak membuka cabang dimanapun entah karena apa, ekslusivitas mungkin? Karena saya tinggal di Balikpapan, jadi tiap kali mau kontrol untuk bertemu dengan dokter spesialisnya saya juga harus menyediakan biaya untuk tiket pesawat dan tempat tinggal. Dari segi harga, SSC juga bisa dibilang mahal. Satu tube kecil krimnya seharga sekitar 150 ribu. Belum lagi facial wash, obat minum dan lain-lain. Tapi buat saya untuk paket perawatannya masih affordable, kalau tidak ditambah dengan biaya pesawat dan lainnya.

Setelah tiba di SSC, saya langsung konsul dengan dokter spesialis yang katanya cukup ahli di bidang kosmetik. Dr. Putu, namanya. Oleh dokter Putu, saya disarankan untuk diberi tindakan "propil", yaitu sejenis peeling, tapi empat lapis atau dilakukan sebanyak empat kali. Jerawat - jerawat yang lumayan besar di wajah saya diberi injeksi supaya cepat hilang. Setelah itu dilakukanlah tindakan "propil" tersebut. Kalau ditanya sakit, sudah jelas. Bagi yang sudah mencoba peeling, mungkin tahu kalau kulit wajah terasa sangat panas seperti terbakar. Seperti itu kalikan saja empat kali, sesuai dengan berapa kali prosesnya.

Setelah "penyiksaan" selesai, saya digiring lagi ke proses selanjutnya, yaitu pemberian obat dan pembayaran. Untuk obatnya saya dikasih yang bermacam-macam, mulai dari obat minum yang terdiri dari vitamin dan antibiotik, krim wajah sampai water spray. Nah ini yang lumayan menarik. Saya juga belum pernah coba yang namanya menggunakan water spray. Lumayan penasaran juga sih.. Dari dokternya saya dikasih merk Avene Eau Thermale atau Thermal Spring Water. Katanya sih produk yang langsung diimpor dari Perancis. Diambil dari air yang mengalir dari kaki gunung Cevennes, di kedalaman Lembah Orb, bagian selatan Paris, Perancis. Mata air ini memiliki suhu konstan 25,6 derajat Celcius, bebas dari kandungan mikroba dan memeiliki pH7,5 (mendekati netral) (sumber: http://www.nonahikaru.com/2015/06/review-eau-thermale-avene-thermal.html)

Saya tidak mau review terlalu banyak tentang spring water ini (karena saya tidak menerima endorsement dari Avene untuk dimuat di blog saya, hehe), tapi saya tertarik menggunakannya karena memang baru pertama kali. Kalau dari yang saya lihat di internet tentang pengalaman orang yang mencoba, ada yang bilang berkhasiat, ada juga yang bilang tidak mengubah apa-apa. Ada yang bilang dianjurkan untuk membeli, ada juga yang bilang beli Avene cuma buang-buang uang saja. Kalau untuk saya sendiri, karena saya baru peeling, dianjurkan untuk menggunakan spring water supaya merah-merah di wajah setelah peeling bisa segera pulih. Setelah beberapa kali mencoba, saya suka dengan efek segarnya. Tapi hanya sebatas itu, untuk efek yang lain masih belum bisa dibuktikan karena saya baru menggunakan beberapa kali.

Dari sekali treatment yang saya jalani pada hari itu di SSC serta biaya obat yang diresepkan, saya merogoh kocek sekitar 3 jutaan. Buat saya jumlah tersebut tidak sedikit, belum lagi ditambah dengan biaya seperti yang saya bilang sebelumnya, tiket pesawat dan tempat tinggal. Tapi apa boleh buat, demi memperbaiki kulit wajah saya yang sudah dirusak, saya tidak punya pilihan lain. Semoga saja saya mendapatkan hasil yang diharapkan..




Senin, 30 November 2015

Finally It's Spoken :)

Sebagai seorang cewek yang masih single alias belum "merit", saya punya beberapa pengalaman tentang petualangan cinta. Ada pengalaman pacaran, pengalaman friendzone, pengalaman hubungan tanpa status dan lain-lain. Buat saya pengalaman-pengalaman tersebut adalah petualangan, dan dalam melaluinya ga jarang saya mengalami rintangan dan pahitnya kegagalan. Padahal saya bukan tipe cewek yang memulai duluan. Maksudnya, dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, saya termasuk tipe "old fashion" yang selalu menganggap cowok lah yang harus melakukan first move. Anehnya nih, fenomena yang sering saya alami sama mereka adalah mereka yang mulai, dan mereka juga yang mengakhiri. Nyebelin ga tuh?

Satu contoh yang sampai sekarang masih membekas dan belum bisa saya lupain adalah pengalaman di friendzone-in sama cowok. Sebut aja K. Suatu hari si K minta dikenalin sama saya melalui temennya. Singkat cerita hubungan kita berlanjut dari telponan/smsan ke yang mulai ngedate tiap ada waktu luang. Biasanya acara ngedate diisi dengan nonton atau sekedar dinner. Sebagai orang yang umurnya udah dewasa, pasti bakal mikir tentang kelanjutan hubungan yang seperti itu akan mengarah kemana. Buat saya pribadi, saya mikirnya dia cuma ngambil waktu beberapa lama untuk pdkt sama saya dan pasti ujung-ujungnya bakal nembak atau membicarakan tentang komitmen. 

Satu bulan pdkt.. belum ada tanda-tanda nembak. Dua bulan.. juga belum. Sampai bulan ketiga, tiba-tiba terbersit aja kita berdua bikin rencana liburan bareng adik-adik ke Lombok. Nah dari situ saya pikir dia bakal manfaatin momen liburan itu untuk nyatain sesuatu ke saya. Pada saat mempersiapkan liburan, saya ngerasa excited terus karena bakal ngira dapet kejutan spesial disana. Tapi sampai akhirnya pada saat kita udah berada disana, masih belum ada keliatan tanda-tanda dia bakal nembak. Dan justru malah pas kita lagi berada disana, saya ngerasa jadi lebih jauh sama dia. Liburan yang saya bayangkan akan jadi asik luar biasa, ternyata malah jadi bencana buat saya. Sama sekali ga mengasyikkan malah bawaannya saya pengen pulang terus. Pada saat itu, saya bener-bener kecewa banget dan masih ga ngerti maunya dia apa.

Begitu balik dari liburan, hubungan saya sama K jelas jadi ga bagus. Saya bener-bener bete sama dia. Disaat dia coba ngajak saya keluar, saya selalu nolak. Terus begitu sampai akhirnya dia menghilang tanpa saya pernah punya kesempatan untuk nanya tentang maksudnya dia selama ini apa. Bener-bener berapa bulan yang sia-sia saya jalanin sama dia. Sampai hari ini, saya ga pernah tau kabar dari dia lagi. Dan semua berakhir begitu aja tanpa ada bisa dibicarakan tentang apa sih sebenernya tujuan dia waktu itu deketin saya. Dan pada saat itu saya cuma menganggap kalo saya officially udah jadi korban friendzone :(

Setelah kasus K, ada beberapa kasus lagi yang serupa yang kejadian sama saya. Intinya, saya dideketin, tapi ga dikasih kepastian tentang apa tujuan dari pendekatan itu. Kalo saya dideketin cowok di usia saya yang masih 17 an, saya sih ga perlu repot buat cari tau maksud dan tujuan pendekatan mereka. Berhubung usia saya udah memasuki usia matang untuk mencari hubungan yang serius, saya jelas harus lebih selektif dong. Saya ga bisa lagi yang namanya sembarangan jalan sama cowok yang ga punya tujuan serius sama saya. Dan saya yakin diluar sana cewek-cewek smart yang seumuran sama saya pasti akan berpikir yang sama.

Yang saya sayangkan, seringkali hubungan ga jelas tersebut berakhir tanpa dibicarakan. Unspoken. Berakhir begitu aja meninggalkan rasa penasaran. Dan ga kasih saya kesempatan untuk protes ke mereka dan kasih tau ke mereka kalau apa yang mereka lakukan itu ga bener atau cari tau tentang apa maksud mereka yang sebenarnya.  Cukup bikin nyesek juga.. tapi mau gimana lagi, kalau memang hanya seperti itu keadaan yang harus jalani. Paling saya cuma bisa ambil pelajaran buat ke depannya supaya ga akan buang-buang waktu lebih lama sama laki-laki yang mau deket tapi ga punya tujuan yang serius. Mengenai keseriusan mereka, saya bilang mereka ga serius ya masih asumsi saya pribadi aja sih. Tapi karena mereka juga ga pernah bilang tentang apa yang mereka rasain, jangan salahin cewek kalau kita jadi ngejudge demikian. 

Tapi akhirnya, saya sekarang bisa merasa puas. Karena udah bisa mengutarakan semua uneg-uneg saya sama cowok yang terakhir. Sebut aja A. Bedanya, A ga friendzone-in saya. Kita sempet jadian, dia juga maunya serius saya pun juga mau yang sama. Intinya kali ini, saya ketemu sama cowok dewasa yang ga tertarik dengan hubungan yang main-main. Sayangnya hubungan tersebut berakhir dengan kegagalan. Dan selama ngejalanin hubungan itu, saya bener-bener ga hepi dengan sikapnya dia.

Saya sama A ngejalanin hubungan jarak jauh. Semua baik-baik aja dan menyenangkan sampai pada saat dia cerita ke orangtuanya tentang saya. Respon keluarganya kurang bagus, karena lokasi saya yang jauh dari dia. Sepertinya, keluarganya mau dia berhubungan sama orang yang satu kota aja sama dia. Dan disitulah cobaan buat saya dimulai. Dia mulai berubah sama saya. Mulai jarang kasih kabar, komunikasi kita jadi jarang, pokoknya berubah drastis. Sampai pada akhirnya saya mempertanyakan tentang komitmen kita. Buat saya, kalau memang itu harus berakhir, saya ga masalah yang penting saya dapat kepastian dan bisa segera move on.

Tapi sayangnya, dari dia ga terlalu ngasih kepastian yang bener-bener jelas. Dia bilang, dia tetap mau ngejalanin hubungan sama saya, tapi kalau saya ketemu sama cowok yang lebih baik dari dia, dia ga masalah kalo saya ninggalin dia  dan lanjut dengan hubungan yang baru. Dari situ saya jadi ngerasa dapat pencerahan kalau saya ga bisa serius dengan orang yang punya prinsip seperti itu. Dan akhirnya saya mengakhiri hubungan dengan dia karena buat saya dia ga tegas dan ga memperjuangkan apa yang sudah dia mulai hanya karena keluarganya yang kurang setuju.

Waktu demi waktu berlalu. Saya cuma berharap rasa sakit hati saya ini bisa sembuh seiring waktu. Apa yang saya rasakan, pendapat saya tentang si A lagi -lagi unspoken. Tidak ada kesempatan untuk menyampaikan ke dia seperti yang sebelum-sebelumnya. Saya berusaha berdamai dengan situasi "unspoken" itu dan pasrah kalau memang saya selamanya ga punya kesempatan  untuk menyampaikan semua yang saya rasain ke orang yang nyakitin saya.

Tanpa terasa, sebulan setelah kontak terakhir saya dengan si A, dia menghubungi saya lagi untuk menanyakan kabar. Saya pun menanggapinya dengan sangat "numb". Karena memang sudah ga ada interest lagi dengan dia dan udah benar-benar move on. Tapi tanpa diduga, dia memulai sebuah pembicaraan yang sempat unspoken tentang hubungan yang pernah kita jalanin. Dia jelasin tentang semuanya, tentang kenapa dia berubah dan gimana perasaan dia sama saya. Disitulah saya mulai ngerasa ada kesempatan buat saya ngeluapin semua uneg-uneg saya. 

Saya bener-bener bersyukur. Semuanya akhirnya bisa tersampaikan ke dia tanpa kurang satupun. Tentang bagaimana sakit hatinya saya karena sikapnya yang berubah, tentang penilaian saya buat dia, tentang perasaan saya sama dia... Hebatnya lagi, dia menanggapi semuanya dengan respon yang ga terduga. Dia minta maaf, menyesal dan dia minta kesempatan kedua supaya bisa memulai lagi dengan saya. Dan dia juga bilang dia ga bermaksud untuk nyakitin saya sama sekali karena waktu itu dia juga bingung harus bersikap apa dengan keadaan yang dia hadapi. Pokoknya semua sakit hati saya waktu itu jadi dibalas dengan rasa lega. Lega karena udah bisa bilang semua yang selama ini saya simpan sendiri dan lega karena dia udah minta maaf properly ke saya bahkan minta balikan.

Tapi semuanya udah terlambat. Tepat di hari saya putus sama dia waktu itu, saya langsung mendapatkan penggantinya. Mungkin itu cara Tuhan menghibur saya. Dan otomatis ga ada lagi kesempatan kedua buat si A. Meskipun dia bilang dia ga akan menjalin hubungan dengan siapapun sampai saya nerima dia. Itu sih terserah dia dan mungkin dia bisa ngambil pelajaran dari hubungan kita yang udah berakhir begitu aja. Intinya, saya ngerasa alam semesta akhirnya berpihak sama saya. Selama ini dari hubungan saya yang gagal dan berakhir meninggalkan banyak hal yang "unspoken" akhirnya ada masanya untuk jadi "spoken". Saya pun bisa tersenyum lega dan berkata dalam hati "finally, it's spoken.."

:)




Senin, 23 November 2015

LDR Warrior !

Setelah sekian lama tidak memutuskan untuk berkomitmen dengan siapapun (sekitar 4 tahun lamanya), akhirnya saya memiliki hubungan yang cukup serius. Sayangnya, saya dihadapkan dengan hubungan "bergaya" LDR alias hubungan jarak jauh. Uuughhh , sangat menyebalkan.
Percayalah, yang namanya LDR itu sama sekali tidak mudah. Dulu waktu masih kuliah, saya pernah LDRan tapi masih memungkinkan untuk ketemuan seminggu sekali atau dua minggu sekali. Tapi sekarang? Sebulan sekali aja belum tentu.
Pernah saya sharing dengan beberapa teman yang saya anggap sebagai sumber untuk tulisan ini, yang menjalani hubungan jarak jauh dan akhirnya menikah. Kedua sumber saya tersebut adalah laki-laki. Karena kalau menyangkut masalah hubungan jarak jauh, saya memang tidak tertarik untuk sharing dengan cewek yang cenderung setia. Hubungan jarak jauh identik dengan ketidaksetiaan, dan ketidaksetiaan erat kaitannya dengan laki-laki. Sama sekali bukan bermaksud seksis, akan tetapi dari sejumlah pengalaman yang ada, angka statistik menunjukkan kalau laki-laki memang lebih banyak yang tidak setia dibanding dengan perempuan. 

Singkat cerita, saya menggali lebih dalam pengalaman LDR dari teman saya yang pertama, sebut aja S. Jadi si S ini punya pacar yang kerja di Jakarta, sementara dia sendiri kerja di Balikpapan. Usia pacarannya saat itu sudah memasuki tahun ke-6. Saya lupa berapa lama mereka menjalani LDR dalam periode enam tahun tersebut. Tapi yang pasti, si S ini sempat menyebutkan kalau dalam setahun mereka hanya bertemu dua kali. Dua kali ! Menurut saya itu cukup gila sekaligus hebat. Dengan gaya pacaran yang ketemunya jarang seperti itu bisa membawa hubungan mereka pada pernikahan. 

Kemudian teman saya yang satunya punya cerita yang agak berbeda. Sebut aja A. Usia pacaran sebelum mereka menikah terbilang singkat, hanya enam bulan. Dan dari periode tersebut mereka hanya bertemu dua kali. Kalaupun ada pertemuan diluar yang dua kali tersebut adalah pertemuan yang sudah resmi dengan keluarga masing-masing untuk merencanakan acara lamaran dan pernikahan. Saya juga cukup terkesan dengan cerita LDR yang satu ini.

Anyway, dari cerita mereka tersebut saya jadi menganggap kalau hubungan jarak jauh ternyata juga membawa banyak keberhasilan sampai ke pernikahan. Dan pada saat itu saya menganggap LDR tidak sulit untuk dijalani selama kedua pihak saling setia dan saling percaya. Pada saat saya mempunyai pemikiran seperti itu, saya masih jomblo. Tapi sekarang disaat saya yang menjalaninya sendiri, ternyata LDR tidak sesederhana itu. Setiap hari rasanya saya harus mempersiapkan hati kalau pacar saya tidak bisa kasih kabar. Dari situ saja sudah bisa membuat mood saya berubah. Bisa bikin jadi tidak semangat, tidak bergairah dalam melakukan apapun dan bawaannya cuma bisa gelisah.

Dua modal utama dalam menjalani LDR adalah seperti yang sudah disebutkan sebelumnya tadi, harus setia dan percaya. Pacar saya berulang kali meyakinkan saya untuk selalu percaya dan tidak usah khawatir dengan kesetiaan dia. Saya pun berusaha untuk percaya tapi setiap hari selalu aja ada ketakutan kalau-kalau dia berubah. Misalnya, apabila dia yang berada jauh dari saya ketemu dengan sosok yang menarik yang ada didekatnya. Prinsip "anything could happen" yang terus ada dalam pikiran saya menjadi bumerang buat diri saya sendiri. Segala sesuatu bisa terjadi, baik itu sesuatu yang bagus ataupun sesuatu yang buruk. Tapi biasanya sih saya mengatasinya dengan berusaha untuk positive thinking aja, supaya beban pikiran tidak terlalu berat.

Kemudian, meskipun pasangan kita bisa dipercaya akan tetapi terkadang keadaan bisa mengarah ke sesuatu yang bikin kita paranoid. Contohnya aja teman saya si S. Dia sering lho ngajak saya dinner dan nonton berdua. Memang sih ga ada apa-apa di antara kita, saya menganggap dia sebagai sosok kakak karena dia dewasa dan dia menganggap saya entah apa, mungkin teman atau "adek-adekan". Tapi tetap saja, kalau saya berada di posisi pacarnya dan mengetahui tentang ini, kayanya cukup bisa bikin kelimpungan juga. Tentu aja disaat kita lagi dinner atau nonton berdua, si S ga bilang ke pacarnya karena menurut dia ga berguna, cuma bikin pacarnya paranoid, sementara si S merasa dia ga lagi selingkuh atau macem-macem. Tapi saya membayangkan kalau pacar saya yang ngajak dinner atau nonton cewe lain tanpa ada maksud-maksud apa-apa, tetap aja bisa bikin saya jealous luar biasa.

Kemudian teman saya si A juga punya pengalaman yang hampir serupa. Malah lebih parah sih kalau saya bilang. Jadi selama dia LDRan, dia pernah pdkt / flirting dengan teman satu kantor. Bedanya, sepengetahuan saya mereka ga pernah jalan bareng. Flirting-flirtingnya ya memang cuma di kantor, tapi tetap aja hal tersebut bakalan jadi masalah besar kalau ketauan sama pacarnya. Mungkin memang si A orangnya tetap setia dengan pacar jarak jauhnya tapi balik lagi dengan prinsip saya, "anything could happen". Meskipun kedua temen saya itu endingnya menikah dengan pacarnya masing-masing, tapi apa yang mereka sudah lakukan cukup beresiko untuk bikin LDR jadi berantakan dan berakhir begitu saja. 

Intinya, setelah saya menjalani LDR saya akan bilang kalau LDR itu ga mudah. Jadi setiap ada pasangan yang menikah, dan mereka adalah produk hasil dari LDR saya yang akan mengacungkan jempol paling tinggi dan bertepuk tangan yang paling kencang sebagai tanda penghormatan buat mereka. Karena sudah terbukti kalau mereka adalah pasangan yang setia dan memegang teguh komitmen yang sudah dibuat. Tidak semua orang bisa seperti itu, bukan? Kalau saya menilai diri saya sendiri, termasuk tipe yang setia tapi kurang "nyantai" karena saya selalu paranoid dengan pasangan saya. Mungkin karena banyak lihat pengalaman orang , termasuk pengalaman teman saya si S dan si A tadi ya. Tapi saya cuma bisa melakukan yang terbaik dan menyerahkan semuanya ke yang Maha Kuasa. Sekuat apapun kita berusaha untuk menjaga pasangan kita, kalau dia bukan ditakdirkan untuk kita, pada akhirnya akan terpisah juga. Tapi apabila dia memang sudah tertulis akan menjadi milik kita, sejauh apapun jarak memisahkan tetap akan dipersatukan juga. 

So.. Tetap semangat, ya para pejuang LDR :)





Minggu, 06 September 2015

People Gone Crazy - "Comment War" on Youtube

Few days ago, i just watched a movie trailer "The Danish Girl" on Youtube. Eddie Redmayne, the freckle-faced Brit got the main role who played as a transgender woman. The first time i knew him as a great actor from a movie "A week with Marilyn Monroe" with Michelle Williams who played as Monroe. In my opinion, this biopic gonna be very interesting to watch. The plot is just promising to satisfy movie lovers. One thing that captivate me is Eddie looks so stunning dressed up as a woman. He becomes so beautiful (typical European vintage beauty). Hence, I posted a comment :

"It's kind of awkward to see a man who dress up like a lady, and he becomes way more beautiful than the real women"

Then, I left the page and forget about it until some notifications from Youtube pop-up in my tablet. Turns out some people respond to my comment and it's beyond what i imagine. The first comment came from @Kurage_Chan that wrote:

"I understand this is supposed to be a compliment, but using the term 'real women' isn't fair to transgender or intersex women. These are people who definitely identify as women, but are told they aren't 'real women'  because they were born with male genitals, and no matter what they do won't be accepted in society"

I just cant believe at that time. I just said the truth, Eddie-the actor is a real guy who dress up as a woman and looks so beautiful more than some real women. And someone feels it could be offensive to say??
And then I replied a short comment, avoiding long argument i might involve with @Kurage_Chan:
"Umm. the 'real women' in my first comment doesn't refer to transgender or intersex women"

I intend to emphasize that I don't attempt to make any offensive comment for transgender people. But of course someone thinks that I still need to have a "lecture" about it.

I read more comment from @Kurage_Chan that said:
"No, you didn't refer to that minority group in this comment. You just happened to make this comment on a biopic about a transgender woman. The term "real women" should be phased out of modern speech in general since it reaffirms the mentality that oppresses trans and intersex women today is what I am saying"

I replied, "Yea I understand what you're trying to say. But dude,  I still dont get how come saying "the real women" would be oppresive to trans or intersex women. You dont need to answer tho' because it's more like an opinion than a question."

@Annemarie_Evans joined the conversation and wrote:
"I get what you mean with "real women", but it would have been better if you would have said 'biological women' instead, transwomen are real women too"

Is she crazy, high, or what? How could you say that transwomen are real women?? I underline that, girl. In what world we can accept intersex women as real women? 

@Blaze Duck also wrote a comment: kurage chan sounds like a action film
I dont understand this so I just ignore it.

More and more people came to reply my comment. There's one that seems agree with me, the one with username @Snorcutter, who wrote "Technically they are not real women."
Finally there's one person on my side and sane.

@IGamechangerI replied to @snorcutter: "Technically they are women, just with mismatched physical attributes. Saying a transgender person isn't a real woman is denying them of their identity"

@Annemarie Evans chimed to @snorcutter: "Transgenders are born with a brain of the opposite sex and there is no way to change that, so they are technically real women"

And @snorcutter replied "They don't have a womans reproductive system. They are therefore not woman " 
Yeah, finally someone gets the point ! 

But of course it just cant be accepted. @Annemarie Evans wrote: "They aren't born with the biological body of the oppositite sex, they know that, but it's proven that their brain is and that it is in fact natural, so they are mentally the other sex and biological the same sex. The mind is more import to determinant who and what a human being is, so they are real."
Is  @Annemarie Evans just being delusional or what?

New comer @Gillian Fenwick came and wrote to @snorcutter: "There are plenty of women who are assigned female at birth, and identify as female, but are missing some parts of the female reproductive system, or some of their reproductive parts don't work, or women who choose not to reproduce. are you trying to say that they aren't "real women" either? all based on their reproductive parts? that's ridiculous"

@Ieasha 1596 agree with @snorcutter "I feel like "real women" is right .. lol like women can do things that Transgender women will never be able to do .."
One more person on my side.

@eyes667788 responds to @Kurage_Chan's comments by saying "It's what they deserve. Like it or not, we have minds and imagination for the purpose of becoming aware of principles. Not fighting them"

@eyes667788 also gives feedback to @Annemarie Evans: "They are born in low standing and can't find true connection to another person because people are taught not to be vulnerable and try to look for ways to trap a person into validating their every quirk with attention. What sucks is that love it or hate it, they're getting the recognition they want."

Another comment address to @Kurage_Chan from @eyes667788 : "What they are doing is a drastic approach to being validated, but they're stupid if they think normal people are going to welcome them into their lives"

@weiberfeind replied me "He's still not a woman regardless of how he looks and how he compares to real woman..that is the only thing that matters"

@Cameron W wrote: @Kurage_Chan Yeah science. It's a bitch isnt it!

Last but not least, @Jade Praerie wrote: @Kurage_Chan We should teach each other that it's normal and valuable for highly efferminate men to exist. We should't enforce a delusion of identity and shouldn't normalize lifelong addictions to synthetic hormones and painful cosmetic surgeries.

Well, thank you @Jade Praerie ! Keep being sane. But sadly, only few people are on my side compared to people who against our opinion. And I am pretty sure that more and more comments will come to reply me. 

Transgender people are people who change their gender identity, mentally and physically. They would never be the same with the real people who dont change anything. All of brainwashing idea about gender equality acceptance is just getting more and more revolting. I hope there will be more @snorcutter than @Kurage_Chan exist in this world though i think it's impossible...















Kamis, 20 Agustus 2015

Beauty is Pain ... and Pricy (Aesthetic Clinic Adventure)

Semua wanita pasti mendambakan yang namanya punya wajah yang menarik dan indah dipandang alias cantik. Salah satu yang paling menunjang untuk punya wajah yang cantik adalah punya kulit yang sehat sehingga terlihat mulus tanpa cela. Saya termasuk di antara orang yang kurang beruntung, memiliki kulit yang cenderung berjerawat. Banyak yang bilang sih ini karena genetik atau keturunan. Maklum, papa saya memang kulitnya berjerawat lumayan parah. Jadilah saya dan kedua saudara yang lain kena "apes" nya punya kulit wajah yang tidak pernah bisa terlihat mulus. Untuk permasalahan kulit wajah saya sendiri cukup rumit. Waktu menginjak usia puber, kulit muka berminyak dan jerawatan. Karena faktor genetik didukung dengan hormonal di masa puber lengkaplah sudah penderitaan saya menyandang wajah yang berjerawat. Puncaknya pas saya kuliah sekitar menginjak usia 20 an awal. Kondisi wajah lebih parah dari sebelumnya. Pada saat itu saya belum pernah mencoba berobat ke klinik kecantikan, tapi karena banyak yang sudah mulai komentar mengenai wajah saya, akhirnya saya dapat perintah dari "ibu negara" alias mama saya untuk segera berobat sebelum menjadi semakin parah. Waktu itu saya kuliah di Surabaya, saya minta referensi dari teman-teman disana. Beberapa menyarankan untuk mencoba ke Natasha Skin Care. Akhirnya saya mulai rutin perawatan di Natasha. Konsultasinya gratis, tidak dikenakan biaya apapun karena dokternya bukan dokter spesialis. Cuma dokter umum biasa. (Tips: jangan pernah mempercayakan untuk melakukan perawatan wajah dengan dokter umum. Sebaiknya percayakan dengan dokter spesialis kulit (SpKK) )

Sejak saat itu saya rutin dua minggu sekali "nyetor" ke Natasha untuk pembelian krim dan melakukan tindakan perawatan seperti facial, chemical peeling, microdemabrasi, injeksi dan lain-lain. Namanya juga perempuan, apapun dilakukan demi bisa punya muka mulus. Tapi sayang beribu sayang, bukannya mulus, yang ada wajah saya malah iritasi. Jerawat sedikit berkurang (hanya sedikit) dan kulit berubah jadi seperti labu jack-o-lantern, warnanya jadi orange kemerahan. Tapi saya tetap masih percayakan dengan Natasha. Sampai berlangsung dua tahun, akhirnya saya memutuskan untuk menyerah dan berpikir untuk berhenti perawatan di Natasha. Setiap kali berkunjung ke Natasha, minimal saya "nyetor" 500 ribu. Kalau ditambah perawatan, kadang sampai 800 ribu. Sebulan dua kali saya "nyetor" tinggal dikalikan saja dengan jumlah kunjungan saya selama dua tahun. Sedih? pasti. Kecewa? sudah jelas. Sudah mengeluarkan biaya banyak, sakitnya minta ampun saat di facial dan sebagainya, tapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya setelah lama mempertimbangkan, saya dan Natasha harus "break up", putus hubungan begitu saja.

Kemudian saya langsung jadi galau, tiap ketemu dengan teman-teman dikosan, mereka sampai hapal dengan ratapan dan keluahan saya tentang kulit saya. Akhirnya salah satu dari mereka ada yang menyarankan untuk ke klinik Surabaya Skin Care (SSC). Dia menyarankan untuk konsul ke Dr. Wawan , SpKK. Katanya dokter tersebut sudah terbilang senior dalam hal kecantikan wajah. Dan pada saat saya "googling" kiprahnya memang sudah malang melintang di dunia kesehatan kulit. Disitu dengan mengucap bismillah, saya mantapkan hati untuk berkunjung ke SSC dan menemui Dr. Wawan. Setelah bertemu dengan dokternya, saya menumpahkan semua kegalauan tentang kulit wajah saya. Dokternya lumayan enak diajak ngobrol dan memberi semangat buat pasien untuk tetap "hepi" karena kunci utama untuk terlihat cantik tetap datang dari hati. Disitu saya lumayan bisa ceria lagi dan mencoba untuk selalu berpikir positif. Akhirnya setelah diberi resep, saya mulai rutin menggunakan paket perawatan dari SSC. Sedikit lebih mahal dari Natasha. Tapi yang saya suka, Dr. Wawan tidak menyarankan untuk saya harus facial dan sebagainya. Karena memang tidak perlu dan menurut saya hal tersebut juga membuat image si dokter tidak komersil, berbeda dengan di klinik kecantikan yang sebelumnya.

Tiga bulan pertama, wajah saya makin berjerawat. Tapi dokternya memang sudah memperingatkan dari awal kalau saya tidak perlu panik karena memang seperti itu prosesnya. Harus sabar dan tetap rutin menggunakan obatnya. Tapi pada saat itu memang cukup berat buat saya, apalagi tiap saya bercermin rasanya malas lihat wajah saya sendiri. Apa boleh buat, saya cuma bisa menunggu sampai hasilnya terlihat. Dan setelah beberapa bulan kemudian, akhirnya benar yang dibilang dokter Wawan, jerawat saya hilang! Berkat doa mama juga yang waktu itu juga kebetulan sedang menunaikan ibadah haji. Akhirnya permasalahan saya jauh berkurang. Akan tetapi jerawat hilang namun meninggalkan "warisan" di wajah yang hilangnya jauh lebih sulit seperti pori pori besar, scars, flek hitam dan sebagainya. Pada saat itu saya sudah lulus kuliah dan harus kembali ke kampung halaman, Balikpapan. Sialnya, SSC tidak buka 'franchise' dimanapun demi menjaga mutu dan ekslusivitas. Tapi untungnya SSC bisa melakukan pengiriman obat ke seluruh Indonesia. Akhirnya selama beberapa tahun saya masih bisa tetap menggunakan krim SSC meskipun saya berada di Balikpapan...

Jerawat saya memang sudah tidak tumbuh banyak lagi, tapi manusia kadang jarang merasa puas. Apalagi saya perhatikan kalau wajah saya ini masih butuh treatment spesial untuk menghilangkan bekas-bekas jerawat di wajah saya yang cukup complicated and got me frustrated. Dan saya yakin, dengan menggunakan krim saja tidak akan merubah apa-apa untuk kulit saya. Pernah sih beberapa kali mencoba untuk tetap setia dengan SSC dan terbang ke Surabaya hanya untuk perawatan wajah, tapi karena saya di Balikpapan biayanya jadi mahal luar biasa. Mungkin sekali treatment cuma dua juta, tapi jangan lupa untuk biaya tiket pesawat dan hotelnya. Akhirnya dengan berat hati, saya harus "break up " dengan SSC dan berpikir untuk pindah ke klinik kecantikan yang ada di kota saya saja.

Dari banyak referensi teman di Balikpapan, saya mencoba untuk ke Miracle Aesthetic Clinic. Pertama kali datang, saya langsung konsul ke dokter Mulik yang juga merupakan petinggi di Miracle cabang Balikpapan. Pelayanannya oke, kliniknya mewah, orangnya ramah-ramah. Rupanya prinsip dari klinik ini adalah menganggap customer adalah raja sehingga kita diperlakukan seperti "VIP". Pada saat konsul, dokternya sangat memotivasi pasien. Satu yang mengganjal buat saya adalah semua tim dokternya bukan dokter spesialis. Tapi saya pikir apa salahnya dicoba dulu , apalagi banyak yang bilang Miracle meskipun mahal tapi hasilnya bagus. Okelah saya percaya. Pertama kali ambil obat saya mengeluarkan kocek sekitar 1, 5 juta. Saya jadi tambah yakin lagi, dalam pikiran saya perawatan ini mahal sekali tapi pasti hasilnya bagus. Untuk sabun wajahnya saja 720 ribu, tapi kemasannya besar , mungkin bisa digunakan sampai 2-3 bulan. Untuk krim-krim yang lain, harganya standar, sekitar 150ribu - 200ribu. Dan mulailah saya mencoba pengobatan di Miracle dan berharap ada miracle untuk wajah saya.

Dan.. sekitar tiga bulan setelah menggunakan produk klinik tersebut hasilnya luar biasa .. mengecewakan. Yang awalnya muka saya sudah bersih, jadi muncul "closed comedo" disekitar kedua pipi. Sehingga terlihat seperti jerawat kecil - kecil dan membuat wajah saya jauh dari kesan mulus. Rutin peeling di Miracle pun tidak membuat kulit saya terlihat lebih "kinclong". Intinya tidak ada perubahan untuk kulit wajah saya ke arah yang lebih baik. Malah saya merasa semakin lebih berjerawat. (Tips: jangan terlena dengan produk perawatan yang mahal. Sama sekali tidak menjamin hasil yang maksimal yang diharapkan). Akhirnya saya sadar kalau semua tim dokter dan asisten-asisten di Miracle termasuk apotekernya hanyalah "bunch of sweet talkers". Hehe, segitu emosinya ya saya. Belajar dari pengalaman waktu berobat di Natasha, saya tidak mau buang-buang waktu lebih lama lagi dan buang-buang uang lebih banyak lagi. Dan untuk kesekian kalinya, saya harus "break up" lagi dengan klinik kecantikan yang bikin saya patah hati :(

Kebetulan tidak berapa lama kemudian, saya langsung dapat referensi dari teman yang lain tentang klinik estetika yang bisa saya coba selanjutnya. Erha clinic namanya.Untuk yang satu ini, sebenarnya saya cukup takut mencoba karena waktu di Surabaya dulu saya lumayan banyak melihat langsung efek dari ketergantungan obat dari Erha. Tapi selain itu banyak juga yang bilang kalau Erha tidak bikin ketergantungan sama sekali. Entahlah saya harus percaya yang mana. Tapi yang pasti karena wajah saya sudah terlanjur berjerawat lagi akhirnya saya nekat untuk datang ke Erha Clinc dan mulai perawatan disana..

Satu hal yang sedikit membuat saya yakin adalah tim dokternya merupakan tim dokter spesialis. Pertama kali saya konsul dengan dokter Regina. Tidak berlangsung terlalu lama karena dokternya kurang melakukan komunikasi timbal balik. Tapi saya tidak memperdulikan itu karena saya punya beberapa pertanyaan dan saya mengeluarkan biaya untuk konsultasi ini sebesar 100ribu, berhubung konsulnya dengan dokter spesialis, bukan dokter umum. Akhirnya dokter Regina memberi resep 4 macam krim dan sabun muka khusus. Totalnya 380ribuan. Saya lumayan tidak percaya. Karena buat saya itu murah sekali! Berhubung sebelumnya di Miracle saya mengeluarkan 700ribuan hanya untuk satu sabun muka.

Anyway, saya pun langsung memulai perawatan dengan obat dari Erha. Seminggu pertama saya mulai merasakan sedikit perubahan. Yang pasti wajah saya tidak terlalu berminyak lagi. Harapan saya pun akhirnya mulai muncul. Hanya saja ada peraturan dari dokter yang saya kurang suka, yaitu sama sekali tidak dianjurkan untuk memakai bedak sehari-hari. Jadi pasien harus tampil "polos" sampai waktu yang ditentukan. Saya lumayan tidak percaya diri kalau tidak memakai bedak, karena wajah saya masih ada jerawat dan bekas-bekasnya, pori-pori besar, dan lain lain yang bisa tertutupi oleh bedak. Efeknya, saya jadi jarang keluar rumah, apalagi kalau ada ajakan dari teman - teman untuk nongkrong di mal. Ke mal dan tidak pakai bedak apapun? Buat saya itu haram hukumnya. Jadilah kegiatan saya sedikit terbatas. Tapi saya ikhlas saja, demi mendapatkan kulit yang sehat dan indah, apapun saya lakukan termasuk tidak dandan kalau pergi keluar rumah. 

Hari dimana saya buat tulisan ini, adalah hampir sebulan saya menggunakan Erha. Seminggu terakhir saya lumayan panik karena jerawat malah bermunculan di wajah saya. Kecil, besar, lengkap deh. Saya langsung berpikir apa saya harus berpindah lagi ke klinik lain. Kembali ke Surabaya Skin Centre dan hanya merawat wajah dengan krimnya tanpa melakukan tindakan apapun seperti peeling, dan sebagainya. Tapi di lain sisi saya berpikir untuk meneruskan dulu dan dilihat apa mungkin kondisi wajah saya saja yang belum stabil. Karena selama pakai Erha, jerawat yang muncul lumayan cepat "mati"nya. Hanya saja jerawat selalu meninggalkan bekas yang menjengkelkan yang hilangnya lebih lama. Saya takut wajah saya jadi penuh jerawat dan bekas-bekasnya. Amit-amit deh, saya tidak mau balik lagi ke kondisi wajah 5 tahun lalu. Yang pasti saya masih tetap mau percayakan perawatan kulit wajah dengan Erha. Kalau hasilnya sudah kelihatan, mungkin nanti saya akan update lagi perkembangannya di blog ini sebagai referensi klinik kecantikan yang mungkin bisa dicoba :)





Rabu, 05 Agustus 2015

America's Next Top Model = New World Order by Tyra Banks ?




Mungkin sebagian pemirsa acara tv yang perempuan sekitar umur belasan sampai 25 tahun ke atas cukup familiar dengan reality show kompetisi model dari Amerika buatannya Tyra Banks , mantan Victoria's Secret Angel yang berjudul America's Next Top Model. Saya sendiri penggemar acara ini karena dikemas dengan sangat menarik sehingga tiap minggu saya selalu tunggu penayangannya di CBS. Tiap cycle kompetisi diikuti oleh belasan model yang performance nya dinilai dari hasil photo shoot mereka tiap minggu. Kalau ada yang paling jelek hasil fotonya, maka model itu yang akan di eliminasi pada saat penjurian yang diadakan tiap minggu. Saya sudah lupa mulai ngikutin acara ini dari cycle ke berapa. Tapi yang pasti, cycle terakhir yaitu cycle 21 yang sangat menarik perhatian saya. 

Cycle 21 Guys and Girls judulnya, memberikan konsep yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Kalau dari cycle 1 sampai 19 pesertanya hanya model cewek aja, sekarang dibikin berbeda, ada peserta laki-lakinya juga. Hanya untuk informasi saja, sebenarnya konsep ini sudah dibuat pertama kali di cycle 20. Dan yang sangat menarik perhatian saya adalah para peserta dikarantina dalam satu atap, artinya laki-laki dan perempuan campur jadi satu di dalam satu rumah. Mereka pun bebas tidur di kamar mana aja, tidak harus yang perempuan tidur di kamar perempuan atau laki-laki tidur di kamar laki-laki. Kalau mereka mau, laki-laki dan perempuan bisa tidur dalam satu kamar yang sama, dan apapun yang akan terjadi di kamar itu, terjadi saja. Bebas, tidak ada aturan yang melarang apapun. 

Konsep kompetisi model ini cukup membuat saya geleng-geleng kepala. Tapi kegilaan dari America's Next Top Model Guys and Girls cycle 21 ini tidak hanya itu. Setiap minggu, tiap peserta dikasih tantangan yang nilai dari tantangan tersebut akan diakumulasi dengan skor photo shoot, juga nilai media sosial (jumlah vote dari fans para peserta di media sosial). Episode minggu kemarin yang saya tonton, tantangannya adalah "naked runaway". Jadi disini, peserta akan berjalan di catwalk di depan ratusan orang, tanpa mengenakan pakaian! Bagian pribadi mereka cuma ditutup dengan silly string atau semprotan yang biasa dipakai ke orang yang ulang tahun di pesta-pesta. Tapi memang sudah resiko jadi model untuk mengekspos tubuh mereka tanpa sehelai benang pun di depan umum. Cuma saya langsung mikir, model-model cewek dan cowok sudah ngeliat bagian tubuh masing-masing. Dan semuanya punya body yang super seksi. Apa jadinya saat mereka kembali ke rumah karantina 'campur' yang bebas tanpa aturan?



Selain itu, ada beberapa peserta yang punya kelainan orientasi seksual. Ada yang benar-benar gay, dan ada yang biseksual. Pada salah satu episode, ada cerita dimana salah seorang peserta cowok yang normal ciuman dengan peserta cowok yang gay. Katanya si cowok normal, ciuman itu terjadi karena dia mengapresiasi kecantikan peserta cowok yang gay. Tapi please deh, apakah apresiasi itu harus diwujudkan dengan ciuman antar sesama jenis?? 

Belum lagi ada peserta cowok yang biseksual. Tiap kali pemotretan, dia sering sekali disuruh untuk menampilkan sisi feminin nya daripada sisi macho. Dengan kata lain, dia sering disuruh untuk tampil tidak sesuai dengan kodratnya. Dan kebetulan peserta cowok yang biseksual itu mengaku sangat dekat dengan ilmu hitam. Pernah ditayangkan adegan dimana dia sedang melakukan ritual untuk sihir yang melibatkan pemanggilan iblis supaya sihirnya bekerja. Saya bener-bener ga habis pikir, apa acara ini masih appropriate untuk disiarkan di tv?

Romeo (yang memegang buku witchcraft), peserta yang melakukan praktek ilmu hitam di rumah karantina


Seks bebas, penyuka sesama jenis, nudity dan witchcraft ada di dalam America's Next Top Model Guys and Girls cycle 21 ini. Pemirsa yang paling banyak nonton adalah yang usianya masih remaja, yang masih mencari-cari panutan dan jati diri mereka. Di saat anak-anak remaja tersebut masih labil dan bingung dengan jati diri mereka, mereka disuguhkan acara yang tidak pantas untuk ditonton seperti ini, maka apa jadinya mereka nanti.


Semua konsep acara besutan Tyra Banks ini sangat mengingatkan saya dengan konsep - konsep illuminati, perkumpulan rahasia pemuja setan yang agenda utamanya adalah untuk membentuk tatanan dunia baru (New World Order) dan memiliki simbol piramida mata satu. Illuminati menjunjung penyuka sesama jenis, seks bebas dan memuja setan sebagai gaya hidup mereka. Propagandanya yang paling utama adalah melalui acara televisi karena bisa mencakup jutaan orang sekaligus untuk melihat suguhan konsep illuminati. Yang pernah saya baca juga, saat menonton televisi kita jadi terpengaruh dengan acara tersebut disaat kondisi sedang rileks, sehingga alam bawah sadar bisa lebih menyerap apa yang kita lihat. Untuk penonton dalam usia dewasa, mungkin masih bisa memilah-milah mana tontonan yang ditiru dan mana yang tidak seharusnya ditiru, tapi apakah penonton yang dalam usia remaja bisa seperti itu disaat mereka masih dalam fase yang labil dan suka meniru? 

Simbol illuminati


Sekarang saya mau bahas tentang si creator dari acara America's Next Top Model , Tyra Banks. Kalau saya buka artikel tentang illuminati di internet, pasti ada informasi juga tentang selebritis - selebritis dunia yang dicurigai sebagai anggota illuminati dan pendukung gerakannya. Seperti Jay-Z, dan artis-artis yang berada dalam labelnya (Rihanna, Kanye West, Beyoncé, dll), Lady Gaga, Miley Cyrus yang bertranformasi dari good girl menjadi bad girl, Justin Bieber yang juga berubah jadi bad boy, pendatang baru Ariana Grande dan banyak lagi lainnya termasuk Tyra Banks. Kalau saya search juga dari foto-foto Tyra di internet, ada beberapa posenya yang lagi menutup mata kanannya. Sebagai informasi, Illuminati dilambangkan dengan lambang mata satu di dalam segitiga yang tidak utuh bagian atasnya, bisa dilihat di dalam uang 100 dollar Amerika yang lama. Bisa dibilang "tuhan" mereka adalah The All Seeing One Eye atau mata satu yang maha melihat. Sehingga pose-pose yang menampilkan mata satu cukup populer di kalangan selebriti dunia. Bisa kita search dengan gampang kok di Google. 


Pose "one eye", simbol illuminati yang kerap ditampilkan Tyra

Perhatikan kaosnya yang bergambar piramida mata satu


Oh ya, dan satu hal lagi, acara America's Next Top Model ini ditayangkan di stasiun tv CBS yang kalau diperhatikan lambangnya menyerupai mata satu. Untuk lebih jelasnya, bisa kita browsing di Google tentang simbol-simbol illuminati yang digunakan stasiun televisi termasuk tv nasional di Indonesia. Hal ini membuat saya semakin terbuka dengan konsep acara yang dibuat Nona Tyra Banks ini. Sangat jelas kalau pergaulan bebas dan nudity yang dia rancang untuk peserta America's Next Top Model bukan lagi suatu kebetulan. Belum lagi aktivitas ritual ilmu hitam yang dipresentasikan salah satu peserta dan propaganda homoseksual semakin menambah keyakinan saya kalau acara ini merupakan persembahan dari Tyra sebagai bentuk kesetiannya terhadap apa yang dianutnya. Selain itu juga  Komitmen nya untuk membentuk sebuah tatanan dunia baru sangatlah kuat sama seperti seleb illuminati lain. Saya sudah masuk usia dewasa yang bisa memilah-milah mana acara tv yang isinya bermutu dan mana yang tidak. Saya pun juga sangat aware dengan propaganda illuminati yang sangat banyak sekali di sekitarnya. Pertanyaannya, apa orang-orang diluar sana juga aware dengan propaganda terselubung ini? Semoga pemirsa pengkonsumsi acara tv semuanya bijaksana dalam menyaring isi dari acara yang mereka tonton.


Terdapat gambar yang menyerupai mata satu pada logo CBS. Kebetulan?




Minggu, 02 Agustus 2015

"The Rainbow on June 26th 2015"



Pada tanggal 26 Juni 2015, terjadi peristiwa bersejarah di Amerika Serikat. Presiden Barrack Obama mengumumkan bahwa seluruh negara bagian di AS secara resmi melegalkan pernikahan sesama jenis. Hal ini membuat banyak orang di Amerika bersorak gembira karena kesetaraan kaum LGBT (lesbian gay bisexual transexual) telah terwujud dan semakin mengukuhkan negara Amerika Serikat yang merupakan negara liberal menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan. Namun setiap keputusan besar, terkadang selalu mengundang pro dan kontra dari berbagai kalangan. Di antara banyaknya warga Amerika yang mendukung dilegalkannya pernikahan sesama jenis, ada beberapa juga yang mengecam keputusan pemerintah tersebut, seperti umat beragama di Amerika dan orang-orang yang anti homoseksual. Apapun itu, keputusan telah dibuat dan tidak lagi bisa diubah. Peristiwa ini jelas akan  sedikit banyak berpengaruh ke seluruh dunia. Satu contoh, Seperti yang saya ketahui dari teman yang berada di Australia, kaum LGBT yang berada disana juga mulai menuntut pemerintah Australia untuk membuat wacana yang bertujuan untuk mengesahkan pernikahan sesama jenis atas nama kesetaraan dan hak asasi manusia.

 

Lampu pelangi menerangi White House di tanggal 26 Juni 2015
Kalau menurut saya pribadi, jelas pernikahan sesama jenis adalah big no no. Segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas yang melenceng di mata saya adalah sebuah kesalahan besar yang harus dikoreksi bukannya malah didukung. Kalau di tahun 2015 ini, homo dan lesbian bisa menikah secara resmi dan diakui oleh negara, apa lagi yang akan diperbolehkan di tahun -tahun mendatang? Pernikahan antara ayah dan anak? Manusia dan hewan? Orang dewasa dengan anak dibawah umur? Toh yang diributkan selama ini adalah cinta , kesetaraan dan hak asasi manusia. Tidak menutup kemungkinan kaum incest, bestially dan pedhophil akan menuntut kesetaraan juga dan mengatasnamakan cinta untuk melegalkan pernikahannya. Who knows? Percintaan sesama jenis yang selama ini kita lihat sangat amat melenceng , di beberapa negara sudah dianggap sangat normal. Para pelakunya mendapat dukungan yang utuh dari banyak pihak. Jadi dengan adanya pengesahan pernikahan sesama jenis ini, kita harus bersiap untuk kegilaan-kegilaan lain yang akan datang menuntut untuk diakui, disahkan dan diterima.

 


     
 
Kemeriahan parade gay di berbagai belahan dunia. Seperti inikah masa depan kita nanti?
Namun, dengan adanya  fenomena LGBT ini membuat saya malah ingin tahu dengan mereka. Dig deeper dengan apa yang membuat mereka menjadi orang yang bingung dengan kodratnya. Kebanyakan bilang kalau mereka merasa berada dalam tubuh yang salah. Saya tidak tahu rasanya seperti apa karena untungnya saya adalah seseorang yang tidak punya masalah dengan gender saya. Hal inilah yang membuat saya ingin tahu dengan apa yang sebenarnya mereka alami sehingga beberapa ada yang memutuskan untuk mengubah kelamin mereka yang mana hal tersebut sesuatu yang memerlukan proses panjang dan sangat menyakitkan. Bagi wanita yang ingin berubah menjadi pria misalnya, mereka melakukan "top surgery" atau operasi untuk menghilangkan payudara dan harus secara terus menerus menyuntikkan hormon testosteron ke dalam tubuh mereka. Bagi pria yang ingin bertransisi menjadi wanita, mereka harus menghilangkan "adam's apple" atau buah jakun yang ada di leher mereka dan secara terus menerus mengkonsumsi hormon estrogen. Untuk yang nekat dan  putus asa, bahkan ada yang memilih "menghilangkan" kelamin mereka. Keputusan yang besar itu tentu tidak lahir dalam sehari dua hari, tapi seumur hidup mereka untuk mengumpulkan keberanian melakukannya.

Aydian Dowling, seorang transgender "FTM" (female to male)
 
Bruce Jenner, sekarang dikenal sebagai "Caitlyn" seorang transgender "MTF" (male to female)

Nick adalah seorang transgender FTM, Bianca adalah transgender MTF. Mereka menikah dan memiliki dua anak biologis dari pernikahan mereka

Karena rasa ingin tahu yang sangat besar, secara berkala saya browsing internet untuk sekedar mencari berita, artikel, true story atau apapun. Kebetulan, saya cukup aktif juga di media sosial instagram dan sering explore banyak akun instagram untuk posting comment atau hanya sekedar stalking. Dan akhirnya saya menemukan sebuah akun seorang  transgender FTM ( female to male) yang menampilkan orang-orang yang sudah bertransisi. Akun tersebut bertujuan untuk mendukung setiap orang yang ingin "berubah" secara fisik dan emosional. Kadang-kadang saya menulis komentar-komentar tentang keingintahuan saya tentang mereka dan apa yang membuat mereka berubah. Akhirnya ada satu orang dari komunitas LGBT yang merespon keingintahuan saya dan bersedia untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di benak saya secara terbuka. Namanya Alex dan tinggal di California, Amerika Serikat. Kami memiliki percakapan yang menarik lewat private message. Akhirnya saya mulai mendapat sedikit pencerahan tentang apa yang mereka lalui dan berikut sebagian dari percakapan kami:


Q : Hi, thanks for responds me. Are you one of trans sexual?
(Hai, terima kasih sudah merespon saya. Apa kamu termasuk salah satu orang trans seksual?)

A : My pleasure. I am still trying to figure out who I am. I would consider myself more gender fluid, some days feeling more like a boy than a girl, so i am still undecided. But, I could answer your questions as i am considering transitioning
(Dengan senang hati. Saya masih mencari tahu tentang diri saya. Saya pikir saya lebih ke arah berkelamin ganda, terkadang saya lebih merasa seperti laki-laki daripada perempuan jadi saya masih belum memutuskan. Tapi saya bisa jawab pertanyaan kamu karena saya mempertimbangkan untuk bertransisi)

Q: So I assume you're a girl. well that's what i actually want to know. Why are you confused with what you should be? Do you have any stories behind it? Or the feeling just comes often to your mind?
(Jadi saya asumsikan kamu adalah perempuan. Itulah yang ingin saya tahu. Kenapa kamu bingung dengan kodratmu? Apa kamu punya cerita dibaliknya? Atau perasaan tersebut cuma sering muncul dalam pikiran kamu?)

A: Yep, I am a girl. Gender identity is identified at a very young age for most children. But not all transgenders know at a young age sometimes. Young children begin to explore things about themselves such as clothing. What they feel most comfortable in. As soon as I was able to talk as young kid, I would throw a fit before I would be put in a dress. I would run to the boy clothes everytime my parents and I would go clothes shopping for me. Imagine waking up and feeling horrible when you look at yourself in the mirror. You know you're in the wrong body. You're uncomfortable in your own skin, and you're not happy with who you are. You were born in the wrong body, that's how you feel and it can be quite depressing
(Ya, saya perempuan. Identitas kelamin terlihat pada usia dini pada sebagian besar anak-anak. Tapi tidak semua transgender mengetahui di usia yang dini. Anak-anak mulai mencari tahu tentang diri mereka seperti cara berpakaian. Apa yang paling dirasa nyaman. Pada saat saya sudah bisa bicara waktu masih kecil, sebelum saya benar-benar memakai sebuah gaun, saya harus mencobanya dulu. Saya berlari ke arah pakaian anak laki-laki setiap kali saya dan orangtua berbelanja. Bayangkanlah pada saat bangun tidur dan merasa buruk ketika kamu melihat dirimu sendiri di cermin. Kamu tahu kamu berada di tubuh yang salah. Kamu merasa tidak nyaman dengan kulitmu sendiri dan kamu tidak bahagia dengan dirimu. Kamu terlahir di tubuh yang salah, itulah yang kamu rasakan dan hal tersebut cukup membuat depresi)

Q: So the uncomfortable feeling comes naturally to you. I am sorry that you've been in such condition, i can't imagine. I never feel the same way, but when you mentioned "it can be depressing" i know it must be very hard. Have you considered to take estrogen? Maybe it'll help you to make you feel more comfy as a girl. How old are you, by the way?
(Jadi perasaan tidak nyaman datang begitu saja padamu. Saya merasa sedih dengan keadaanmu, saya tidak bisa membayangkan. Saya tidak pernah merasakannya tapi ketika kamu bilang hal itu membuat kamu depresi, saya jadi tahu kalau pasti sangat berat. Apa kamu sudah mempertimbangkan untuk mengkonsumsi hormon estrogen? Mungkin bisa membantu membuatmu lebih nyaman sebagai perempuan. Berapa umur kamu?)

A: Yeah, it's just a feeling such as any other emotion. No need to apologize, one day i'll be really happy, I just have to get pass all the speed bumps first. No, I haven't considered taking estrogen or any other type of female hormone. For example, estrogen can help with the development of your breasts, whereas I don't feel comfy with mine. I am happy that they're not huge, but I would prefer not  to have them. I am 16 years old.
( Ya, itu hanyalah sebuah perasaan sama seperti perasaan lainnya. Tidak perlu meminta maaf, suatu hari nanti saya akan merasa bahagia, saya cuma harus melalui semua cobaan yang ada. Tidak, saya belum pernah mempertimbangkan untuk mengkonsumsi estrogen atau hormon kewanitaan lain. Ambil contoh, estrogen bisa membantu menumbuhkan payudara, sedangkan saya sudah merasa nyaman dengan punya saya. Saya suka dada saya tidak besar, tapi saya lebih memilih untuk tidak memiliki payudara. Usia saya 16 tahun)

Q: Wow, you're almost in the same age with my lil bro. He just turned 17. Well, i am not a psychology expert , but in my experience young people at your age have so many issues in psychological things. As you're in your puberty and sometimes you become unstable and confused. Just like my brother, in one second he can be so nice, but then he can be furious just because of a small thing. What i am trying to say is that you still find out who you are, which is very normal in your age. But if you choose to transitioning, I think it's a very huge step that you should not decide in your age now, don't you think?
(Wow, umur kamu hampir sama dengan adik saya. Dia baru saja berulang tahun yang ke 17. Saya, bukan seorang ahli psikologi, tapi pengalaman saya, anak seusia kamu punya banyak masalah dalam hal kejiwaan. Karena kalian dalam masa puber dan terkadang menjadi tidak stabil dan bingung. Seperti adik saya, pada suatu waktu bisa menjadi sangat baik, tapi detik berikutnya bisa berubah menjadi marah-marah karena hal kecil. Yang mau saya bilang, kamu masih mencari jati diri yang mana hal tersebut sangatlah normal di usia kamu. Tapi kalau kamu tetap memutuskan untuk bertransisi, saya rasa itu adalah langkah yang sangat besar yang tidak seharusnya kamu putuskan sekarang, tidakkah kamu berpikir demikian?)

A: Yeah, I know how temper can be in boys and girls, especially in our teen years. Like you said, with puberty and all it can be a very confusing time in our lives. Not just for us , LGBT + teens but for every teenager. However I must say, your brother shows change in his emotions such as his temper whereas sexuality is different. I know I am still trying to figure out who I am, but in my beliefs, I feel as if it isn't a choice. You're right, I should wait and I will,  but I don't think anyone would choose a life where you have to face endless bullying and being brought down to your lowest. It's whatever makes you happy.
(Ya, saya tahu seberapa emosionalnya anak-anak remaja. Seperti yang kamu bilang, masa puber adalah masa yang paling membingungkan dalam hidup. Tidak hanya untuk para remaja LGBT tapi juga semua remaja yang lain. Tapi saya mau bilang, adikmu menunjukkan perubahan dalam hal emosi yang mana sangat berbeda dengan masalah seksualitas. Saya tahu, saya masih mencari jati diri, tapi dalam keyakinan saya hal itu bukanlah pilihan. Kamu benar, saya sebaiknya menunggu dan saya akan menunggu. Tapi saya pikir tidak seorang pun memilih sebuah kehidupan dimana kamu harus menghadapi diolok-olok selamanya dan direndahkan. Ini adalah tentang apapun yang membuat kamu bahagia)

Q: Those bullies. Hope that they will get their punishment for what they do. I think you need so much supports from environment around you. Did you come out to your parents? and how did they respond? Also, if this's not a rude question.. So are you interested to girls?
(Para penggangu itu. Semoga mereka mendapat ganjaran atas semua yang mereka lakukan. Saya rasa kamu perlu banyak dukungan dari lingkungan sekitar kamu. Apa kamu sudah bilang ke orangtuamu? Bagaimana respon mereka? Juga, apabila pertanyaan ini tidak menyinggung, apa kamu suka dengan perempuan?)

A: I am thankful for support from my friends and teachers that's about all I have. I did come out to my parents but not as transgender. I did come out to them as being gay, yes I do like girls. They weren't quite happy about it. I was taken to talk to a priest and things like that. They dont support me and living with them is quite awkward. Nothing's the same anymore. I feel as if they dont love me anymore because their way of showing me that they do only hurt me. They're affraid that in going to hell.. But overall, life at home sucks for me. I rather be at school. I keep telling them that I am the same kid as before and that they only know me a little bit deeper but i dont know.. they think differently. I thought that coming out to them would make things easier for me. I didn't want to hide who I am from them but it didn't quite work out for me.
(Saya bersyukur dengan semua dukungan dari teman-teman dan guru saya, dan hanya itulah yang saya punya. Saya sudah bilang ke orangtua tapi bukan sebagai seorang transgender. Saya bilang ke mereka kalau saya seorang penyuka sesama jenis. Ya, saya suka perempuan. Dan mereka tidak senang akan hal itu. Saya dibawa untuk curhat ke pendeta dan hal-hal semacam itu. Mereka tidak mendukung saya dan hidup dengan mereka cukup tidak nyaman. Semua menjadi berbeda. Saya merasa kalau mereka tidak sayang lagi dengan saya karena mereka cuma selalu menyakiti saya. Mereka takut masuk neraka.. Secara keseluruhan, kehidupan saya di rumah tidak menyenangkan buat saya. Saya lebih memilih untuk berada di sekolah. Saya selalu bilang ke mereka kalau saya masih sama seperti sebelumnya dan bahwa mereka cuma tahu lebih dalam lagi tentang saya, tapi tidak tahulah.. mereka sudah mengubah cara pandang mereka. Saya pikir dengan jujur kepada mereka akan mempermudah saya, saya cuma tidak mau menutupi siapa diri saya dari orangtua, tapi ternyata tidak berhasil)

Q: Well, I hope that things will get better. I understand if they're dissapointed, but by ignoring you, doesnt help at all I think. Parents should play an important role for you. Too bad that they do the opposite.Well, if I may suggest.. keep being you. I mean you must be a lovely girl and stay with it. I've seen the process of transitioning, it's scary and I am sure it's painful. You dont need to experience it and maybe it costs lot of money?
(Semoga semua akan menjadi lebih baik. Saya mengerti kalau mereka kecewa, tapi saya pikir dengan mengacuhkanmu tidak membantu apa-apa. Orangtua seharusnya berperan penting untukmu. Sayang sekali mereka melakukan sebaliknya. Kalau boleh saya menyarankan.. tetaplah menjadi dirimu. Maksudnya, kamu pasti anak yang cantik dan tetaplah menjadi cantik. Saya pernah melihat proses transisi, sangat menakutkan dan saya yakin pasti menyakitkan. Kamu tidak perlu mengalaminya dan mungkin melakukannya membutuhkan banyak biaya?)

A: Thanks for your compliment  but until now i am happy and comfortable with who I am, I will keep searching. I don't think it's painful, but it does require commitment and hard work. But if you set your mind to it and you really want it, you can make anything happen. Yes it can be pricy but I guess that depends on your doctor and if you can get help or not, such as support groups...
(Terima kasih atas pujiannmu, tapi sampai sekarang saya merasa bahagia dan nyaman dengan diri saya, saya masih terus mencari. Saya rasa transisi tidaklah menyakitkan tapi yang pasti membutuhkan komitmen dan kerja keras. Tapi kalau kamu sudah menetapkan untuk bertransisi dan sangat menginginkannya, kamu bisa mewujudkannya. Ya , akan sangat mahal tapi saya rasa itu tergantung dokternya dan juga apabila kamu bisa mendapatkan bantuan, seperti dari kelompok pendukung...)

Begitulah kira-kira sebagian percakapan saya dengan Alex. Saat tulisan ini dibuat, karena satu dan lain hal, history percakapan kami terhapus sebelum saya sempat membuat screen shot dari percakapan tersebut untuk bisa saya tampilkan disini. Mungkin setelah membaca diskusi tersebut, kita semua bisa menyimpulkan kalau Alex sudah fix dengan ketertarikannya menjadi seorang lesbian yang mengarah ke transgender. Meskipun keputusannya itu diambil diusianya yang tergolong masih usia labil dimana segala sesuatu dapat berubah dan masih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Ditambah lagi, Amerika, dimana Alex tinggal sudah lama memiliki budaya peradaban yang  bebas dan "nyeleneh". Sehingga semua itu membentuk dan mempengaruhi pikiran seseorang untuk ikut terpengaruh dengan lingkungan sekitar. Mungkin hal ini juga yang terjadi dengan Alex. Banyak pembelaan di luar sana yang mengatakan bahwa 'being gay is not a choice, it's meant to be' (menjadi seorang homoseksual bukanlah sebuah pilihan, melainkan sudah ditakdirkan seperti itu). Bisa dibilang kalau pernyataan tersebut hanyalah omong kosong. Menjadi perempuan atau laki-laki sejak lahir barulah itu yang namanya takdir. Sedangkan menjadi homoseksual sudah jelas adalah sebuah pilihan yang terbentuk dari keadaan, pengaruh lingkungan, pengalaman, budaya, kelainan psikologis dan banyak lagi faktor lainnya.

 
Kakak beradik Youtuber The Rhodes Bros merekam langsung saat dimana mereka mengaku gay pada orangtua lewat telepon

Tahun 2015, para orangtua bangga memiliki anak yang merupakan pecinta sesama jenis

Tanggal 26 Juni 2015 merupakan sebuah "trigger" untuk perombakan besar yang akan terjadi di dunia yang kita tempati ini. Banyak pro kontra dan banyak juga yang memilih untuk acuh tak acuh selama hal tersebut tidak berpengaruh apa-apa pada mereka sekarang. Padahal, cepat atau lambat kita semua akan merasakan juga perubahan besar dari keputusan sebuah negara adidaya di benua Amerika itu. Keputusan yang katanya bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan dan mengatasnamakan cinta. Kalau sudah bicara tentang cinta, seharusnya hal tersebut tidak menyebabkan penyimpangan dan rusaknya moralitas dalam masyarakat. Kita sedang mengalami penurunan drastis terhadap peradaban, kita seperti hidup di jaman membenarkan apa yang salah, menganggap normal sesuatu yang melenceng dan mengebiri semua pihak yang ingin mengembalikan keadaan ke jalan yang benar. Tapi semua sudah ditetapkan dan terjadi tanpa bisa diubah dan dicegah. Jadi tidak sabar lagi untuk melihat bagaimana kehidupan manusia di masa-masa mendatang setelah "revolusi cinta" dikumandangkan...

It's Adam and Eve, not Adam and Steve !